Pengertian
Penggelapan Pajak
Penggelapan pajak (tax
evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan
obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum
(unlawfull), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat
(inherent) pada setiap system pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi.
Begitupun penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula,
serta mengundang sanksi pidana badan dan denda.
Peraturan
Perundang-undangan Tentang Penggelapan Pajak
Pengertian tindak
pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang
hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa
pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan
pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.
Pendapat beberapa ahli
tentang pengertian tindak pidana :
- Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum (menurut Pompe) .
- Suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain (menurut Van Hamel).
- Merupakan tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (menurut Simons).
- Isilah peristiwa pidana yang sering disebut delik karena peristiwa itu suatu perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen-negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). (menurut E.Utrecht).
Tindak
Pidana Perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan
pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan
hukuman pidana.
Sebagaimana diketahui
bahwa Pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang sehingga apabila tidak
dipatuhi/dilanggar maka akan menimbulkan hukuman/sanksi bagi pelakunya.
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia adalah Self assessment dimana Wajib pajak diberi kepercayaan untuk mendaftar, menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Konsekuensi dari penerapan Self assessment ini memberikan tanggung jawab besar pada Wajib Pajak untuk melakukan kepatuhannya secara sukarela (Voluntary Compliance).
Potensi pelanggaran dari kepatuhan sukarela (Voluntary Compliance) tersebut adalah :
1. Penghindaran Pajak (Tax avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya adalah berupaya meminimalkan beban pajak dengan cara:
• tidak secara jelas melanggar ketentuan perpajakan;
• Cenderung menafsirkan ketentuan pajak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
2. Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal), misalnya :
• tidak melaporkan sebagian penjualan
• memperbesar biaya dengan cara fiktif
• memungut pajak tetapi tidak menyetor
DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar hukum pajak:
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia adalah Self assessment dimana Wajib pajak diberi kepercayaan untuk mendaftar, menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Konsekuensi dari penerapan Self assessment ini memberikan tanggung jawab besar pada Wajib Pajak untuk melakukan kepatuhannya secara sukarela (Voluntary Compliance).
Potensi pelanggaran dari kepatuhan sukarela (Voluntary Compliance) tersebut adalah :
1. Penghindaran Pajak (Tax avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya adalah berupaya meminimalkan beban pajak dengan cara:
• tidak secara jelas melanggar ketentuan perpajakan;
• Cenderung menafsirkan ketentuan pajak tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
2. Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak, Suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal), misalnya :
• tidak melaporkan sebagian penjualan
• memperbesar biaya dengan cara fiktif
• memungut pajak tetapi tidak menyetor
DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya mempunyai dua fungsi besar yaitu fungsi pelayanan dan fungsi penegakkan hukum. Contoh pelayanan adalah memberikan pelayanan pendaftaran NPWP, Pengukuhan PKP, Sosialisasi Perpajakan dan lain-lain. Selain fungsi pelayanan tersebut, DJP juga melakukan penegakkan hukum bagi pelanggar hukum pajak:
- Penegakkan hukum ringan (Soft Law Enforcement) dikenakan atas pelanggaran yang bersifat administrasi, yaitu berupa denda dan/atau bunga (sanksi administrasi umum), misalnya telat lapor SPT tahunan Orang pribadi dikenakan denda Rp. 100.000,-
- Penegakkan hukum berat (Hard Law Enforcement) dikenakan atas tindak pidana perpajakan, sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi khusus dan sanksi pidana.
Berikut ringkasan beberapa pasal dalam KUP yang dikenakan atas tindak pidana perpajakan diantaranya:
Pasal 38: Perbuatan alpa dalam pidana pajak, Tidak menyampaikan SPT, Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali), dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar.
Pasal 39 Ayat (1): Perbuatan sengaja :
- Tidak mendaftarkan diri;
- Menyalahgunakan NPWP/NPPKP;
- Tidak menyampaikan SPT;
- Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap;
- Menolak untuk dilakukan pemeriksaan;
- Memperlihatkan pembukuan palsu/dipalsukan;
- Tidak menyelenggarakan/memperlihatkan/meminjamkan Pembukuan;
- Tidak menyimpan buku, catatan, dokumen cfm pasal 28 ayat (11) UU KUP;
- Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut,
Sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana
Penjara minimal 6 bulan maksimal 6 Tahun dan Denda minimal 2 kali
maksimal 4 kali jumlah pajak yang terutang/kurang dibayar
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana
Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana
Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :
- Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP.
- Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
(Dalam rangka
mengajukan restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak), sanksi Pidana
Penjara Minimal 6 Bulan Maksimal 2 Tahun dan Denda Minimal 2 Kali Maksimal 4
Kali jumlah restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak.
Pasal 39A : Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.
Pasal 41A : Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :
Pasal 39A : Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.
Pasal 41A : Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :
- Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 35 ayat (1) UU KUP) jika setiap orang dengan sengaja tidak memenuhinya, diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
- Setiap orang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban Pasal 35A ayat (1), pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
- Setiap orang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda maks. Rp800.000.000,00
- Setiap orang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara, pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.
Pasal 43: Penyertaan Perbuatan Pidana,
- Ketentuan sebagaimana pasal 39 dan 39A berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan, membantu melakukan tindak pidana
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 40 : Daluarsa: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak:
- saat terutangnya pajak,
- berakhirnya Masa Pajak,
- berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau
- berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan
Pasal
34: Rahasia Jabatan:
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Kecuali pejabat dan tenaga ahli :
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Kecuali pejabat dan tenaga ahli :
- sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
- ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
Sanksi
karena :
- ALPA: Pidana kurungan selama-lamanya satu tahun, dan denda setinggi-tingginya Rp25.000.000,00
- SENGAJA : Pidana Penjara selama-lamanya dua tahun, dan denda setinggi-tingginya Rp50.000.000,00
Pasal
36A: Pegawai Pajak yang:
terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak, menguntungkan diri sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP;
dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:
terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak, menguntungkan diri sendiri, diancam dengan pidana Pasal 368 KUHP;
dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya:
- memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu,
- untuk membayar atau
- menerima pembayaran, atau
- untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri,
diancam
dengan pidana Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan
perubahannya.
Contoh Kasus dan Penyelesaian
Tentang Penggelapan Pajak
DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK
OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu
tidak seluruhnya benar. Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk.
Salah satu produsen tambang batu bara terbesar di Indonesia ini sedang pusing
lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun. LSM Indonesian
Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp11,426 triliun
setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-2008.
Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk,
termasuk anak usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC)
sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak KPC
tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel menyelidiki dugaan penggelapan
pajak Arutmin.
Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan
pembengkakan utang perusahaan tambang milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah
ICW menelaah data-data primer seperti laporan keuangan perusahaan, prospektus,
laporan pada pemegang saham, data produksi serta penjualan batu bara perseroan.
Data itu juga kami dapat dari hasil audit BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen
tersebut diteliti, ditemukan dua kenakalan yang dilakukan perseroan. Pertama,
ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil Penjualan Batubara (DHPB) pada
2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi, angka itu belum disesuaikan
dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu AS$608,178 juta.
Kedua,
emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar royalti periode 2003-2008 yang
jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara
mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI
mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan
memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan
BUMI. Selain itu, Departemen Keuangan juga harus memanggil Direktur Jenderal
Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya, dari Direktur
Jenderal ini, bisa diketahui berbagai
hal yang mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
Solusi
Dalam
kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group, perusahaan
mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan
dengan hal tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah
dengan mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi
tenaga kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah
konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut
kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat
cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang
lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua
bahkan cukup memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu
menuntut perusahaan pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan
konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan
ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Efisiensi
menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam
persaingan global tersebut. Namun menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi
bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah
menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum, kita dapat mengatakan
bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah laku/perilaku untuk memprediksi
bagaimana respon manusia terhadap perubahan-perubahan dalam hukum. Teori
ini melampaui intuisi, hanya sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa
(common sense). Ilmu Ekonomi memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi.
Efisiensi selalu berhubungan dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu
lebih baik mencapai semua kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah
daripada dengan biaya yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang
yang siasia/pemborosan.
Selain
efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan
dalam nilai penting lainnya adalah distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi
itu terhadap kebijakan publik adalah penggunaannya untuk memprediksi siapa
sebenarnya yang dibebankan berbagai macam pajak. Lebih daripada penelitian
ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap
distribusi pendapatan dan kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli
ekonomi seringkali merekomendasikan perubahan untuk peningkatan efisiensi,
mereka mencoba menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya memberikan
rekomendasi tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau
pemilih (voters).
Referensi
:
·
Erly Suandi. 2002. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.